Otomatis

Kita harus mengenal diri sendiri terlebih dahulu sebelum kita berusaha mengenal orang lain. kita harus mengoreksi diri sendiri terlebih dahulu sebelum kita mengoreksi orang lain. kita tidak dapat merubah suatu masyarakat, tetapi jika masing-masing kita memperbaiki diri sendiri maka mungkin masyarakat tersebut juga akan berubah dengan sendirinya.

AF Lasut


Arie Frederik Lasut

Membicarakan sejarah pertambangan Indonesia tak lepas dari peran salah seorang putra terbaik bangsa di bidang pertambangan dan geologi, Arie Frederik Lasut.

Pada masa perang kemerdekaan, Lasut menjadi incaran Belanda karena pengetahuannya tentang pertambangan dan geologi di Indonesia, namun Lasut tetap bersikeras untuk menolak bekerjasama dengan Belanda hingga akhir hayatnya. Saat berusia 30 tahun, Lasut diambil paksa dari rumahnya dan ditembak mati oleh Belanda pada 7 Mei 1949 di Pakem (sekitar 7 kilometer di utara Yogyakarta). Jenazah Lasut dimakamkan di pekuburan Kintelan Yogyakarta, di sebelah makam isterinya, Nieke Maramis, yang telah lebih dulu meninggal pada Desember 1947.  Atas jasa-jasanya, A.F. Lasut kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/Tahun 1969 tanggal 20 Mei 1969.

Arie Frederik Lasut lahir di desa Kapataran, Minahasa, Sulawesi Utara, 6 Juli 1918, sebagai putra tertua dari 8 bersaudara, anak pasangan Darius Lasut dan Ingkan Supit. Lasut sekolah di Hollands Inlandsche School (HIS) di Tondano dan kemudian melanjutkan sekolah guru di Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK), Ambon. Tahun 1933 Lasut lulus dari HIK Ambon dan terpilih untuk melanjutkan sekolah ke HIK Bandung. Setahun di Bandung, Lasut memilih pindah ke Jakarta untuk mengikuti pelajaran di Algeme(e)ne Middelbare School (AMS).

Pada tahun 1937 Lasut lulus dari AMS dan memulai sekolah kedokteran di Geneeskundige Hooge School (sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). Lasut terpaksa berhenti dari sekolah ini karena kesulitan dana dan memilih bekerja di Departement van Ekonomische Zaken (Departemen Urusan Ekonomi) mulai tahun 1938. Setahun kemudian Lasut masuk Techniche Hoogeschool te Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung), tetapi studinya kembali terhenti karena masalah dana. Ia kemudian berhasil mendapat beasiswa dari Dienst van den Mijnbouw (Jawatan Pertambangan) untuk menjadi asisten geolog. Pada masa pendudukan Jepang nama jawatan tersebut diubah menjadi Chisitsu Chosasho.

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pada tanggal 25 September 1945 Presiden menginstruksikan untuk mengambilalih instansi-instansi pemerintahan dari Jepang. Jumat, 28 September 1945, sekelompok pegawai muda di kantor Chisitsu Chosasho pun bertindak, mereka dipelopori oleh Raden Ali Tirtosoewirjo. A.F. Lasut, R. Soenoe Soemosoesastro dan Sjamsoe M. Bahroem yang mengambil alih dengan paksa kantor Chisitsu Chosasho dari pihak Jepang, dan sejak saat itu nama kantor diubah menjadi Poesat Djawatan Tambang dan Geologi.

Keesokan harinya dibentuk Dewan Pimpinan Kantor yang terdiri dari tujuh orang, dan Raden Ali Tirtosoewirjo ditunjuk sebagai pimpinannya. Selang beberapa hari  terjadi pergantian pimpinan, R. Soenoe Soemosoesastro yang semula menjabat sebagai wakil pimpinan diangkat menjadi pimpinan dan A. F. Lasut sebagai wakilnya. Beberapa minggu kemudian, terjadi lagi pergantian pimpinan A. F. Lasut diangkat sebagai Kepala Poesat Djawatan dan R. Soenoe Soemosoesastro sebagai Kepala Bagian Geologi. Sebagai pimpinan, A.F. Lasut pada tanggal 20 Oktober 1945 mengeluarkan pengumuman bahwa semua perusahaan pertambangan ditempatkan di bawah pengawasan Poesat Jawatan Tambang dan Geologi.

Selama perang kemerdekaan, Desember 1945 - Desember 1949, kantor Poesat Djawatan Tambang dan Geologi terpaksa harus berpindah ke Tasikmalaya, Magelang, dan Yogyakarta dari tempat semulanya di Bandung untuk menghindari agresi Belanda. Untuk mengembangkan Djawatan Tambang dan Geologi, A.F. Lasut bersama dengan R. Soenoe Soemosoesastro membuka Sekolah Pertambangan-Geologi Tinggi (SPGT), Sekolah Pertambangan-Geologi Menengah (SPGM), dan Sekolah Pertambangan-Geologi Pertama (SPGP).

0 comments:

Posting Komentar